Fakta Ilmiah Dibalik Legenda Manusia Serigala

Ditulis oleh pada Friday, April 18, 2014 - 08:01 dengan tidak ada komentar

Fakta Ilmiah Dibalik Legenda Manusia Serigala
Likantrof atau likan, sebutan untuk manusia serigala di Eropa, telah sejak lama menjadi bagian dari legenda di Eropa. Konon, saat bulan purnama, sosok mereka yang awalnya seperti manusia biasa pada umumnya akan berubah menjadi makhluk buas. Penasaran dengan fenomena tersebut, Dr Jan Dirk Blom, asisten profesor psikiatri di University of Groningen, Belanda menelaah data-data dan arsip, untuk menguak seberapa sering kondisi seperti itu terjadi. Dan ternyata, manusia serigala tak hanya sekedar mitos.

Berdasarkan penelitian Dr. Blom ada sejumlah orang yang yakin, mereka dalam bermetamorfosis menjadi serigala. Mereka mendengus, mencakar, dan merasa tubuh mereka ditutupi oleh rambut. Kuku-kuku mereka juga seakan tumbuh memanjang. Blom menemukan, sejak tahun 1850, telah terjadi 56 kasus deskripsi tentang orang-orang yang percaya bahwa mereka bermetamorfosis menjadi binatang. Sebanyak 13 orang di antaranya mereka bisa dimasukkan dalam kondisi clinical lycanthropy, istilah medis kondisi di mana seseorang memiliki delusi bisa berubah menjadi serigala.

Penggunaan kata 'clinical' atau klinis dalam kondisi ini digunakan untuk menekankan bahwa kondisi tersebut bukanlah lycanthropy, atau kemampuan untuk bermetamorfosis secara fisik menjadi serigala, yang sesungguhnya seperti yang ada dalam legenda. Clinical  lycanthropy merupakan salah satu varian dari kondisi di mana para pasien memiliki keyakinan delusinal bahwa mereka berubah menjadi binatang seperti anjing, ular boa, katak, atau lebah. Demikian menurut studi yang dipublikasikan dalam jurnal History of Psychiatry.

"Aku berharap menemukan lebih banyak kasus karena dalam buku teks kondisi ini cukup sering disebutkan secara sepintas," kata Blom, seperti dimuat situs sains LiveScience. Fakta rendahnya jumlah kasus clinical lycanthropy yang dilaporkan terjadi lebih dari 150 tahun menunjukkan, kondisi tersebut mungkin lebih jarang dari yang diperkirakan sebelumnya. Meski legenda mengenai manusia yang bisa berubah bentuk menjadi makhluk lain sudah ada sejak zaman kuno dan terus menarik perhatian hingga hari ini, sayangnya kondisi clinical lycanthropy masih kurang mendapat perhatian.

"Dalam praktik klinis, banyak kasus tak mendapat perhatian karena ahli kesehatan jiwa kurang menyadari eksistensi dan keunikan gangguan ini," kata Blom. Kondisi clinical lycanthropy secara umum sering dikira sebagai ekspresi dari gangguan lain seperti skizofrenia, gangguan bipolar, atau depresi berat. Dalam tinjauannya terhadap 56 kasus delusi metamorfosis sebagai binatang, Blom menemukan bahwa 25 persen pasien malah didiagnosa menderita skizofrenia, 23 persen diduga depresi psikotik dan sekitar 20 persen dengan gangguan bipolar.

Kasus clinical lycanthropy kali pertama dipublikasikan pada 1852. Menggambarkan seorang pria yang dikirim ke rumah sakit jiwa di Nancy, Prancis karena yakin, ia telah berubah menjadi serigala. "Pria tersebut membuka bibirnya, dengan jemarinya, menunjukkan 'gigi serigalanya'. Ia juga mengeluh kakinya berubah dan tubuhnya ditumbuhi rambut panjang. Pria itu juga mengaku hanya ingin menyantap daging mentah. Tapi saat diberi daging mentah, ia menolak, alasannya, masih terlalu segar belum busuk," kata Blom.

Meski telah ada sejak lama, penjelasan tentang lycanthropy seringkali justru bersifat metafisika. Hingga akhirnya, ilmu modern menawarkan gagasan bahwa perasaan berubah menjadi binatang disebabkan kelainan pada otak. Selama beberapa dekade terakhir, sejumlah studi pencitraan otak menunjuk pada area tertentu di pusat sistem saraf manusia yang menciptakan sensasi fisik dan bagaimana seseorang memahami tubuhnya.

Wilayah otak ini meliputi area korteks otak (lapisan luar) yang bertanggung jawab untuk gerakan dan sensasi. "Seperti yang kita ketahui, sirkuit saraf di otak, yang melibatkan premotor dan daerah kortikal sensorik, juga mungkin berbagai daerah subkortikal, sangat penting untuk menciptakan persepsi soal tubuh kita," kata Blom. Dalam kasus ini, pasien mengalami sensasi perubahan dalam penampilan mereka. Misalnya, merasa bahwa mulut dan gigi berubah bentuk atau dada mereka seakan menggembung. Beberapa mengira mengalami penurunan berat tubuh, juga ada yang merasa ada sensasi terbakar pada perut dan pangkal paha.

Ada kemungkinan, delusi yang dialami sejumlah pasien berasal dari masalah di daerah otak terkait, yang mengubah rasa seseorang terhadap identitas fisiknya. Kondisi ini, oleh ahli saraf Perancis pada tahun 1905, disebut coenaesthesiopathy, misinterpretasi terhadap sensasi fisik. Saat ini para ahli jiwa bisa menggunakan useelectroencephalogram (EEG) atau teknik pencitraan otak lainnya untuk mengetahui abnormalitas pada area otak yang bertanggungjawab pada pencitraan diri dan fisik seseorang.
Bagikan Artikel Ini :

Punya tanggapan atas artikel ini? Silahkan sampaikan pemikiran Anda melalui kotak komentar yang tersedia. Terimakasih atas komentar yang anda berikan dan mohon maaf jika ada komentar yang tidak saya balas.
Read MeEmoticon

Follow Bee Inspired Di Twitter
Like Bee Inspired Di Facebook
 
Home | Privacy Policy | Disclaimer | Contact | Feeds (Atom)
Copyright © 2013. Bee Inspired - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger